MENCARI KEADILAN DI DUNIA LAIN #Viralforjustice
fenomena Hastag no viral no justice
Indonesia hadir untuk keadilan sosial dari perbedaan 1340 suku dalam penjaminan produk hukum positif dan hukum adat yang dibangun atas konsep negara hukum. Hari ini kita diperhadapkan berita yang tepampang di media-media akan perlakuan diskriminasi penegakan hukum di Indonesia.
Dunia digital seperti kepercayaan masyarakat nusantara tehadap dunia mistik yang memungkinkan untuk diakses setiap orang dan melihat berbagai fenomena yang di masyarakat tanpa bersentuhan lansung dengan fenoemana tersebut. fenomena tagar “no viral no justice” merupakan trend hastag baru di masyarakat Indonesia yang lahir secara alamiah di masyarakat sebagai penanda akan bobroknya penegakan hukum yang tidak bisa ditutup-tutupi dari dunia maya, frasa jalur orang dalam, salah tangkap, penjara khusus dan selesai bawah meja sudah bukan rahasia lagi di negeri ini.
Hastag ini seakan menandakan ketidak percayaan rakyat terhadap kehadiran negara, bahwa kasus yang viral cenderung lebih cepat direspon, daripada kasus yang tidak viral. Fenomena ini menjadi pelindung dengan kamera atau secara refleks merepost postingan atas simpati dan keprihatinan yang muncul akibat ketidakadilan yang terjadi di depan layar. Misalnya, jika sebuah postingan di media sosial mengusik hati nurani kita.
Seperti halnya kisah seorang ibu di lampung mendekam
di penjara bersama bayi karena penangguhan penahanannya ditolak, kasus serupa terjadi pada
beberapa kalangan atas justru penagguhan penahahannya diterima. Bahkan hampir semua kalangan atas yang terjerat kasus narkoba
berakhir dengan rehabilitasi, berbanding terbalik dengan masyarakat kalangan bawah
yang akan berakhir di penjara over kapasitas. Di lain sisi kita
menyaksikan penjara khusus para koruptor seperti hotel yang diliput mata najwa,
fenomena ini dibenarkan sendiri oleh pengacara kondang hotman paris dalam
podcas deddy corbuzier.
Kejadian ketidakadilan ini sudah terjadi berulang kali seperti fenomena gunung es yang bersembunyi dibalik kegelapan, sehingga masyarakat beranggapan bahwa hukum tumpul ke-atas, tajam ke-bawah benar adanya. Perlu kita sadari bahwa bahwa yang menjadi masalah penegakan hukum di Indonesia bukan hanya terletak pada produk hukumnya peninggalan penjajah, tapi para oknum aparat penegak hukumlah bermental penjajah dan tidak memanusiakan manusia. KKN sudah menjadi lingkaran setan di negeri ini, seperti ungkapan gusdur kalau lumbung padi sudah dikuasai tikus dan buktinya hari ini kita menyaksikan para penegak hukum yang nakal, hanya berakhir praktek sidang kode etik semata atau praktek berlindung dibalik harkat martabat lembaga negara.
Saya teringat seorang sokrates yang ingin menguji keadilan berdasarkan perkembangan di masyarakat, pada akhirnya dipaksa minum racun oleh para kaum sopis yang bebas menafsiran keadilan sesuka mereka. Inilah yang terjadi di Indonesia para aktivis yang ingin menguji efektifitas penegakan hukum dari fenomena masyarakat berakhir di penjara.
Semoga fenomena hastag viral for justice bisa menjadi harapan untuk menjadi gerakan solidaritas massa sosial media, pengikat dalam perbaikan penegakan supremasi hukum di indonesia.
“Tetaplah menjadi bagian barisan massa social media, rekam dan posting dengan hastag viral for justice” ~ pei
Komentar
Posting Komentar